Sabtu, 31 Agustus 2013

Tentang Kita Yang Selalu Berbeda


Di minggu pagi, ketika sang fajar perlahan mulai meninggi menampakkan kekuatan sinarnya. Aku masih terlelap dalam kenyamananku memimpikanmu. Suara dering alarm yang sengaja aku sett semalam tak mampu mengusik mimpi yang pelan tapi pasti menyeretku untuk tetap tinggal. Namun seketika aku tersentak ketika tirai jendela kamarku terbuka, meninggalkan suara gesekan yang nyaring ditelinga. Sungguh menyebalkan! Cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela memantulkan sinar yang menyilaukan mata dan memaksaku untuk bangun meninggalkan mimpi abstrakku yang tak entah kapan berujung. Namun aku masih saja mengelak, menutupi sinar yang menyilaukan itu dengan punggung tangan.

Ku dengar sayup suara yang sangat ku kenal. Suara yang berbisik di dekat telingaku. Ada sentuhan lembut yang ku rasakan menyentuh kulit wajahku. Sentuhan hangat dan memberikan kenyamanan yang tak dapat ku jelaskan. Perlahan ku mulai membuka mata, mencaritau apa yang telah ku rasakan beberapa detik yang lalu, ku dapati sosok yang tadi hadir dalam mimpiku. Iya, kamu. Kamu yang selalu menyita waktuku untuk tak henti memikirkanmu. Kamu yang perlahan menyeretku dalam lamunan yang entah akan berujung nyata ataukah sebaliknya. Kamu yang tak henti meyakinkanku, bahwa hanya cintamu-lah yang pantas bersanding denganku di masa depan. Begitu bahagianya, aku masih dapat melihatmu.

Akhir-akhir ini, setiap minggu pagi kau memang selalu datang untuk mengantarku pergi ke tempat yang selalu rutin aku datangi setiap minggu pagi.. gereja. Iya, kamu mengingatkanku untuk selalu datang ke rumah Tuhan. Kamu pernah bilang, aku harus rajin datang sembahyang ke gereja. Kau ingin aku untuk mendoakan kita, masa depan kita. Katamu, kamu yakin dengan pengharapan. Jika kita menginginkan apa yang ada diharapan kita menjadi nyata, kita harus rajin untuk memintanya dalam doa. Kau juga yakin, Tuhan akan menjabah doa kita, jika kita memintanya tulus dari hati.

Kamu membuka selimut yang hampir menutupi seluruh tubuhku, dan membangunkanku.  Tapi aku menggodamu, aku berbalik memunggungimu dan kembali memposisikan tubuh untuk terlelap. Kau mendengus kesal. Dengan jailnya kau membalasku dengan menggelitikiku hingga aku merintih, rasa geli yang tak dapat ku tahan berhasil membuatku bangkit dari ranjang. Kau tersenyum jail melihatku, menggodaku saat aku memanyunkan bibir. Kau menarik tanganku dengan lembut, lalu berdiri dibelakang tubuhku yang lebih pendek ± 10cm darimu, menaruh kedua tanganmu dipundakku. Kau membawaku untuk segera masuk ke kamar mandi. Meski kesal, aku pun tetap menuruti maumu.

Aku membuka pintu kamar mandi, mendapatimu duduk diatas ranjang, bahkan kau juga merapikan tempat tidurku. Aku tersenyum melihatmu yang tengah asyik berkutat dengan iphone-mu. Dengan sabarnya, kau menunggu aku hingga selesai mandi, berdandan lalu blablabla melakukan ini itu yang biasa dilakukan perempuan. Saat aku menghadap ke meja rias yang ada disudut kamarku, asyik memoles wajahku dengan sedikit blashon dibagian pipi. Tiba-tiba kau bangkit berdiri, mendekat menghampiriku, perlahan kedua tanganmu kau letakkan dipundakku, memelukku dari belakang dan berkata “Kamu sudah cantik, untuk apa lama-lama berdandan?” lalu kau mencium pipiku. Aku memiringkan kepalaku menatap matanya, lalu tersenyum sembari mengusap-usap wajahnya dengan punggung tanganku. Detik itu juga, aku masih tetap pada keyakinanku, aku tak akan menyerah untuk memperjuangkan kita.

Kau menyalakan mesin motormu, merayap melewati padatnya jalanan. Saat sampai di depan gereja, waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Aku buru-buru turun dari motor, tanpa sengaja meninggalkanmu di parkiran. Namun aku teringat sesuatu, aku memutuskan kembali berbalik berlari kecil menuju ke tempat dimana aku meninggalkanmu. Belum sempat aku memberitahu alasanku kembali, kamu sudah tau maksudku. Kau tersenyum dan berkata tak apa. Tanganmu kau angkat sampai menyentuh rambutku, merapikan rambutku yang sedikit berantakan, menyilahnya menuju dibalik telinga. Kau mendekatkan wajahmu di keningku, kau mendaratkan kecupan hangat yang sulit ku jelaskan. Aku tersenyum, membalas kecupanmu dengan mencium mesra pipimu lalu berbalik berlari kecil masuk ke gereja.

Di dalam gereja, aku memperhatikan setiap pesan yang disampaikan oleh pendeta. Entah mengapa, tema misa kali ini sungguh menarik, tentang pasangan yang akan dipertemukan di surga. Aku memandang patung yang terpampang di depan gereja tepat dihadapanku. Patung YESUS yang mati disalib untuk menebus dosa umat manusia yang terpampang di depan gereja tepat dihadapanku.
YESUS.. begitu agungnya kuasa-Mu, hingga membiarkanku untuk masuk terlalu jauh dalam emosi yang ku ciptakan sendiri. KAU membiarkan dia untuk mengusik duniaku, dan membiarkan dia bermain-main di duniaku. Maafkan aku yang tak dapat mengelak dari perasaan ini. Tapi aku percaya, ini memang jalan yang telah KAU khususkan untukku.

Selesai misa, kau masih menunggui ku di tempat saat terakhir kita berpisah satu jam yang lalu. Masih berkutat dengan iphone-mu, kau asyik menggoyang-goyangkan jempolmu menyentuh layar touch screen. Aku berjalan berjinjit mendekat ke arahmu. Sengaja ingin menggodamu, ku arahkan kedua tanganku menutupi bola matamu, mengagetkanmu dari belakang. Kamu berbalik, dan kita tertawa bersama. Tak berapa lama kemudian motormu sudah melaju, membawa kita menyusuri jalanan yang terlihat lenggang.  Sepanjang perjalanan, aku memeluk tubuhmu, mendekapnya dengan erat. Aku tak ingin melepaskan pelukanku darimu. Sungguh, aku tak ingin detik-detik kebersamaan kita berakhir begitu cepat. Aku ingin selamanya seperti ini denganmu, sejenak melupakan adanya perbedaan diantara kita yang begitu mencolok.

Aku paham, aku dan kamu sungguhlah berbeda. Aku punya YESUS, yang ku yakini sebagai Tuhanku sekaligus teman yang tak pernah meninggalkanku dan selalu setia menjagaku dari atas surga. Dan kamu punya ALLAH, yang kau yakini sama hal-nya sepertiku. Sejujurnya aku ingin sekali terlepas dari belenggu kebimbangan hati. Rasa bimbang menentukan pilihan. Sayang, sungguh aku sangat menyayangimu. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tau. Dan aku yakin, kau pun begitu. Namun, aku tak ingin pilihanku nantinya justru akan menyakiti salah satu diantara kita. Karena nyatanya, kamu-lah yang ku pilih untuk menemaniku saat ini. Tak hentinya kau selalu meyakinkanku bahwa cintamu-lah yang akan membahagiakanku nanti, dan kau juga-lah yang pantas bersanding denganku nanti. Ingin sekali aku mengatakan bahwa aku juga memiliki pengharapan yang sama denganmu. Ingin sekali aku menjawab semua harapanmu dengan mantap “Iya..” Namun entah mengapa, aku masih sulit mengungkapkannya. Bukan maksudku meragukanmu, namun rasa bimbang yang terus mengusik jiwaku masih menyita sebagian waktuku untuk tidak gegabah mengambil keputusan.

Tuan, kamu masih sebagai pelaku utama yang selalu memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang entah seperti apa jawabanku nantinya. Tapi aku tetap meyakini bahwa kita akan tetap menjadi kita. Kau begitu menggebu-gebu, mengatakan bahwa semua pertanyaan-pertanyaanku itu jawabannya adalah.. iya. Bahkan dengan mantapnya, kau melontarkan kata itu. Tahukah sayang? Saat ini aku berjuang mempertahankan segala yang terjadi diantara kita agar tetap bertahan seperti saat ini. Aku tak ingin jika nantinya aku dihadapkan pada pilihan antara hidup bersamamu atau melupakan semua untuk orang tua-ku. Aku ingin suatu hari nanti, aku dapat mantap menapakkan kedua kakiku bersama pilihan yang ku yakini sebagai pilihan yang tepat. Dan doa-ku, pilihan itu adalah aku bisa menghabiskan setiap detik dan detak jantungku bersamamu tanpa harus menjadi anak durhaka karena menentang keinginan kedua orang tua.

Aku janji akan membuat mereka percaya, bahwa perjuangan kita bukanlah sebatas perjuangan anak ABG yang meminta izin pacaran kepada kedua orang tuanya.
Ku harap perjuangan kita yang begitu keras, nantinya akan meluluhkan kerasnya prinsip dan mereka belajar menerima kenyataan, bahwa cinta kita-lah yang akan menang di kemudian hari.

Namun apakah mungkin salib dan tasbih akan bertemu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar