Aku pikir selama
rentan waktu ini, aku sudah berhasil membuatmu menyingkir dari pikiranku. Rasanya
sulit melupakan semua yang telah terjadi diantara kita, dan menganggap kita tak
pernah saling mengenal satu sama lain, jika setiap hari aku masih saja dapat
melihatmu. Karena sosokmu masih menjadi bagian dari keseharianku, dan aku tak
dapat berbuat apa-apa selain mengelakknya. Sungguh! Aku lelah jika harus melenyapkan
sebagian memori yang telah tersimpan di otakku. Obrolan-obrolan kecil kita yang
dibumbui tawa canda serta sentuhan tanganmu yang perlahan dengan lembutnya
membelai rambutku dan dengan lugu aku membalasnya dengan memelukmu, ungkapan
reflek yang memberikan kehangatan dan masih selalu kurindukan. Aku ingin menerima
setiap perubahan bahwa kita tak lagi sama. Karena aku tau, sudah ada dia yang
menggantikan posisiku saat ini.
Banyak pertanyaan
yang selalu muncul dibenakku, apakah kamu juga merasakan apa yang kurasakan? Apakah
diantara kita masih terselip perasaan yang tak sanggup untuk diutarakan? Mengapa
hanya aku yang memperjuangkan semua ini sendiri? Mengapa bukan aku yang kamu
pilih?
Lantas kepada siapa seharusnya seluruh pertanyaanku ini aku utarakan, jika kamu sendiri sebagai pelaku utamanya tak dapat mengerti setiap kode yang selalu aku berikan sebagai isyarat bahwa aku masih (sangat) membutuhkanmu. Atau mungkin kebodohanku yang masih saja terus percaya bahwa suatu saat nanti kamu akan berubah, berbalik kearahku (lagi). Bahkan aku masih menyebut namamu di deretan pertama dalam doaku. Segala macam keusilanmu, perhatian kecilmu dan gaya cuekmu masih sangat kurindukan. Kamu berbeda dari yang lain, kamu begitu apa adanya dengan gaya khasmu, misterius, dan sulit ditebak tapi begitu manis dalam beberapa kesempatan. Untuk itulah aku mencintaimu, karena begitulah kamu.
Lantas kepada siapa seharusnya seluruh pertanyaanku ini aku utarakan, jika kamu sendiri sebagai pelaku utamanya tak dapat mengerti setiap kode yang selalu aku berikan sebagai isyarat bahwa aku masih (sangat) membutuhkanmu. Atau mungkin kebodohanku yang masih saja terus percaya bahwa suatu saat nanti kamu akan berubah, berbalik kearahku (lagi). Bahkan aku masih menyebut namamu di deretan pertama dalam doaku. Segala macam keusilanmu, perhatian kecilmu dan gaya cuekmu masih sangat kurindukan. Kamu berbeda dari yang lain, kamu begitu apa adanya dengan gaya khasmu, misterius, dan sulit ditebak tapi begitu manis dalam beberapa kesempatan. Untuk itulah aku mencintaimu, karena begitulah kamu.
Sebagai seorang yang
pernah bersamamu, menjadi bagian dari keseharianmu, aku tak akan berharap kita
akan kembali. Masih dapat melihatmu, merasakan udara yang kau hirup dan berpijak
dibumi yang sama itu cukup untukku memastikan bahwa kebahagiaanmu masih nampak
kulihat. Menyakitkan jika keberadaanku tak pernah kamu lihat, meskipun aku
selalu hadir dalam tatapanmu. Dulu, kita yang banyak bicara, sekarang kita yang
banyak diam. Pertemuan kita memang tak berakhir happy ending seperti
cerita-cerita di dongeng, namun sosokmu seperti semangat yang mampu
mengembalikan senyum tulus yang lama lenyap. Sosokmu hadir diantara kerumunan
orang yang hanya transit, singgah sesaat datang dan pergi silih berganti.
Dan aku berharap,
esok saat ketidaksengajaan mata kita saling menangkap satu sama lain, aku dapat
tersenyum, lalu melambaikan tangan
kearahmu, sebagai awal hubungan baik kita, dan kamu pun melakukan hal yang sama
sepertiku. Mengukir senyum, sederhana sekali. Dan disitulah aku menyadari, aku
masih bisa mencintaimu dibalik senyumku angkuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar