Sabtu, 03 Agustus 2013

Penantian di Perbatasan Kota

Sudah lama aku menantikan hari ini. Hari dimana mungkin aku bisa melihatmu lagi dalam sudut pandang yang begitu dekat. Kamu tau sayang, betapa bahagianya aku mendengar kabarmu kali ini.
Seandainya, satu janji yang kau ucapkan untukku tahun lalu bisa menjadi alasan untukku menemuimu, akan aku lakukan!
Indahnya angan yang jauh melesat dalam benakku tak mampu untuk ku kuasai lagi. Anganku masih sama seperti tahun lalu, saat tubuhmu memaksa ragamu untuk pergi meninggalkanku, saat kau terpaksa harus mengakhiri semua cerita yang belum kita mulai ini, dan merelakan seluruh waktumu terbuang demi mengais beberapa rupiah yang khusus kau persembahkan untuk memenuhi kebutuhan keluargamu. Sungguh, sebentuk ketekadan hati dari seorang laki-laki yang pernah ku kenal. Karena itulah, aku tak pernah menyesal telah memasrahkan hati pada sosok sesederhana seperti dirimu. Aku sendiri yang membiarkan hatiku untuk kau renggut dan kau bawa pergi bersamamu. Dan sekali lagi aku membiarkan takdir untuk memainkan perannya.

Sayang, masih dapatkah aku melihat indahnya senyummu kali ini? Dapatkah aku menghirup laju angin bersamamu? Akankah kau menepati janjimu kali ini? Aku sungguh menyesali cerita yang kini terjadi. Tak seharusnya aku membiarkan semua angan ini memenangkan perannya. Seharusnya aku bisa menghentikan semua gejolak jiwa, berhenti untuk memimpikanmu dan pergi melupakanmu. Seperti yang telah sukses kau lakukan. Bahkan alasan karena aku baru sekali menatapmu, seharusnya dapat menjadi acuan untukku bersikap acuh padamu. Tapi nyatanya semua usahaku tak mampu mengalahkan kegigihan hati yang masih mempercayai takdir akan tepat memainkan perannya. Kamu masih menjadi bagian terpenting yang tak dapat ku lewatkan. Kamu masih menjadi pelaku utama yang berhasil menyedot seluruh perhatianku. Menyita lengang waktu dan ruang dalam otakku untuk tak lepas berangan tentang sosokmu setahun belakangan. Aku tau sayang, bukan waktu yang tepat untuk membicarakan tentang kita.


Enggak! Belum kita, masih sekedar aku dan kamu.
Dan aku paham, saat ini bukan hanya aku yang menantimu malam ini. Untuk sekedar mengucapkan aku merindukanmu saja, mungkin aku sudah berada dideretan terakhir.

Hati semakin gelisah. Aku merasa resah. Kini, aku tak mengerti mengapa kegelisahanku ini yang justru membawaku ke tempat ini. Namun aku merasa deguban jantungku semakin kencang dari biasanya, hati seperti meloncat kegirangan saat berada ditempat ini. Mataku tak hentinya memalingkan pandangan, mengarahkan ke berbagai sudut pandang seperti sedang mencari sesuatu, dan tentu saja aku tau jawabannya. Ku langkahkan kakiku menyusuri tempat ini, membelah kerumunan orang yang tengah asyik dengan kesibukan mereka. Saat ini, aku seperti orang bodoh yang tak punya arah dan tujuan. Namun satu yang ada dipikiranku sejak tadi, seandainya takdir memainkan perannya kali ini. Aku ingin saatnya tiba, saat aku dan kamu menangkap pandangan, sejenak untuk kita membicarakan tentang perasaan yang kian menyiksa, tentang rindu yang menggebu, dan tentang cinta yang tak terungka, bagiku dan mungkin juga bagimu. Sudah cukup lama aku terdiam, tenggelam dalam gelisah yang tak teredam, sampai-sampai aku tak sadar telah berjalan memutari tempat yang sama sejak tadi. Keringat dingin yang membasahi telapak tangan ini semakin membuatku gugup, sehingga beberapa kali membuatku melipat tanganku, meremasnya karena kegelisahan yang tak ku mengerti.

Mataku terhenti disatu titik dimana baru saja bus berwarna putih berhenti tepat di gerbang perbatasan kota. Bus itu berhenti melaju tepat dibawah cahaya lampu yang bersinar cukup terang, memberikan sorot pandang yang mampu terlihat mata meski jarak kita yang beberapa meter jauh dari tempat cahaya lampu itu. Satu demi satu penumpang turun dari bus, sebagian dari mereka terlihat begitu lelah. Mungkin karena perjalanan panjang yang mereka tempuh. Seketika mataku terbelalak, mulutku mulai menganga, keringat dingin yang kurasa membasahi telapak tanganku tadi serasa pindah haluan kebagian dahiku, kini aku semakin kiat meremas kedua jari-jariku. Mataku pun tak mempercayai sosok yang menyedot seluruh perhatianku saat itu tengah berdiri tak jauh didepanku. Kamu ada didepanku sekarang. Kamu benar-benar disini. Secercah senyuman lekas aku sungging dari kedua sudut bibirku. Degub jantung yang mulai tak beraturan sangat terasa didadaku, sehingga membuat kedua pundakku naik turun tak karuan. Aku memantabkan kedua kakiku untuk segera mendekat ke arahmu. Aku tak sabar ingin cepat memelukmu. Melepaskan segala rindu yang sungguh telah lama mengganjal dalam otakku. Aku sangat bersemangat, sampai tak menghiraukan suasana dingin disekitar tempat itu. Bahkan suara gesekkan yang ditimbulkan oleh dedaunan yang jatuh pun cukup keras terdengar. Dingin malam itu begitu menusuk hingga ke sumsum tulangku. Namun, aku tetap menggerakkan kakiku untuk bergerak ke arahmu.

Seketika langkah kaki tersentak, terhenti saat pandangan yang aku tangkap bukan lagi melihat sosokmu yang tengah berdiri sendiri dibawah cahaya lampu seperti yang kulihat sejak tadi. Melainkan sudah ada sosok yang terlihat samar-samar kulihat. Namun, nampak dengan jelas bahwa sosok yang menghentikan langkahku itu adalah seorang perempuan. Kini aku semakin merasakan begitu kencangnya angin malam menerobos masuk kedalam sela-sela pori-pori kulitku. Bahkan jaket jeans yang sejak tadi kupakai tak cukup kuat membentengi tubuhku dari hembusan angin malam yang begitu menusuk masuk ke rongga-rongga tulang. Begitu menusuk, hingga rasanya ada yang aneh yang kurasakan dibagian dada, dan tak sadar aku memeganginya begitu kuat. Mataku tak lepas melihat mereka bercumbu didepanku. Melihat kemesraan mereka. Bagaimana perempuan itu melemparkan senyum kearahmu. Bagaimana perempuan itu berlari lalu memelukmu. Bagaimana kau membalas pelukan perempuan itu, mendekapnya, mengecup keningnya dan sangat nampak bahwa kalian seperti mencoba melepaskan rindu yang sangat menyiksa.  Aku menggigit  bibir bawahku, mencoba untuk menahan air mata yang mulai memenuhi seluruh lapisan mataku. Namun tak sadar, air mata pun tak terbendung lagi dan mulai mengalir dari sudut mataku. Dadaku terasa semakin sesak seperti ada benda tumpul yang ditancapkan lansung kearah dadaku.

Aku tak dapat menahan diriku saat itu. Aku berusaha menutup mata, tak ingin melihat cuplikan drama yang persis sinetron ini lagi. Namun beberapa detik kemudian aku mengintipnya dari sebelah mataku. Bahkan, sejak awal aku sudah tau ini akan terjadi, namun aku tetap saja tak memperdulikannya. Aku malah asyik menghitung berapa anganku yang dapat terwujud saat aku bertemu denganmu nanti.

Salahkah jika aku berharap, bahwa yang ada diposisinya saat ini adalah aku. Aku ingin menjadi orang pertama yang kau temui saat kau menginjakkan kakimu di kota ini. Aku ingin berlari ke arahmu lalu memeluk dan mendekapmu dengan penuh rasa kerinduan. Aku ingin menciummu, merasakan aroma tubuhnya masuk dari lubang hidungku lalu terhisap masuk hingga kekerongkongan. Aku ingin merasakan hangat dan nyamannya dekapanmu. Bahkan aku juga ingin kau kecup keningnya, seperti yang kau lakukan saat ini untuknya. Apakah aku tak pantas mendapatkan semuanya darimu? Tak pernah ada niat untukku merusak kebahagiaanmu. Aku hanya seorang wanita yang mengikuti insthing perasaannya. Dia sangatlah beruntung memilikimu. Dan aku juga bisa melihat dari garis-garis wajahmu yang selalu sukses membuatku gila saat memandangimu, kau terlihat sangat bahagia dengannya.

Ternyata, dia lah yang benar-benar memahamimu. Ternyata, bukan aku alasan mengapa kamu kembali ke kota ini. Dan.. ternyata, kamu yang ku perjuangkan dengan sangat mendalam, tak sehebat yang ku bayangkan.

Sayang, apakah dia benar-benar pilihan terakhirmu? Apakah dia yang selama ini mencintaimu lebih dari aku mencintaimu? Sayang, akankah suatu hari nanti aku bisa menempati posisinya? Menggantikannya untukmu.

Kesalahanku yang tak bisa menahanmu untuk tetap tinggal, bahkan ketika kau memilih untuk menghabiskan seluruh kebahagiaanmu bersama yang lain. Kemudian membiarkan aku sendirian, tanpa sempat mengucapkan kata   
Cinta
bahkan kata pisah-lah yang terlontar lebih dahulu diantara kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar